PEMILU 2009 sudah di depan mata. Pertarungan kepentingan antarkelompok politik pun semakin kentara. Banyak aspirasi rakyat yang akan dibebankan kepada pundak penguasa selanjutnya. Namun sayangnya, politik hari ini semakin kehilangan ruhnya dalam upaya menghantarkan bangsa menuju cita-cita bersama:
Kesejahteraan, perdamaian, serta keadilan. Bahkan dunia politik acapkali menambah permasalahan-permasalahan yang tidak etis dan tidak bermoral.
Payahnya lagi, menjadi pemimpin politik di masa kini berarti harus tunduk kepada kepentingan para pemodal, baik lokal maupun asing, sehingga aspirasi rakyat sering diabaikan. Seperti masalah tata kelola dunia pendidikan yang baru-baru ini disahkan oleh DPR adalah Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP).
Kekhawatiran masyarakat sudah jelas bahwa dengan adanya UU BHP ini mengeliminasi masyarakat, terutama masyarakat miskin, untuk mengenyam pendidikan. Karena terbukanya konstitusi negara untuk dunia pendidikan yang secara tegas masuk ke dalam perdagangan pasar bebas pendidikan (komoditas).
Sebelumnya pun adanya Badan Hukum Milik Negara (BHMN), seperti ITB, UGM dan UI, telah membuat biaya pendidikan kini menjadi semakin jauh lebih mahal. Padahal pendidikan itu merupakan kebutuhan pokok masyarakat, apalagi di tengah keadaan negeri yang sedang terpuruk ini pendidikan sangat penting sebagai media pencerdas kehidupan bangsa. Konon adanya UU BHP ini tidak bisa lagi dibatalkan, tapi hanya dapat dirombak pasal-pasalnya.
Sebagai generasi yang tingkat pendidikannya tinggi serta melek politik, mahasiswa berperan sebagai pengontrol dinamika penguasa. Termasuk dalam menolak UU BHP tersebut sebagai wujud rasa peduli mahasiswa terhadap rakyat. Gerakan mahasiswa pun berkibar memastikan dinamika politik menjurus ke arah yang sepenuhnya untuk rakyat. Hal inilah yang kemudian menarik para mahasiswa masuk ke kancah perpolitikan tanah air.
Namun banyak suara yang sangsi dan menggugat, apakah gerakan mahasiswa tersebut timbul karena dorongan idealismenya sendiri yang menuntut hak-hak rakyat ataukah sebagai kaki tangan pihak-pihak tertentu.
Gerakan mahasiswa sejati selalu bertumpu pada idealisme kerakyatan, yaitu mengkritisi peran atau kebijakan penguasa yang tidak sesuai dengan aspirasi rakyat dengan memberikan solusinya yang berkeadilan sosial. Sekarang ini banyak yang menuduh gerakan mahasiswa ditunggangi oleh satu kekuatan partai politik, kelompok elite, atau pemodal tertentu. Gerakan mahasiswa yang telah ditunggangi pihak-pihak tertentu hanya bertujuan untuk kepentingan politik pragmatis semata. Pergerakan kalangan ini sudah di-setting oleh pihak-pihak tertentu.
Gerakan mahasiswa semacam inilah yang dinamakan dipolitisasi atau depolitisasi. Semangat perjuangan gerakan mereka bukan lagi untuk rakyat, melainkan lebih mengedepankan kepentingan pribadi dan kelompoknya. Karakteristik gerakan ini cenderung tidak konsisten dan konsekuen terhadap isu yang diusungnya.
Tugas sejarah memang mengharuskan mahasiswa terjun ke dalam perpolitikan praktis. Namun dalam perkembangannya, tak jarang mahasiswa yang terjebak dalam ide-ide pragmatisnya. Yang dikhawatirkan ialah hal tersebut kemudian mencoreng citra positif mahasiswa sebagai “penyambung lidah rakyat”, dan sebagai dampaknya ialah menambah buram dan memperunyam isu yang sedang terjadi.
Maka persoalan yang sewajibnya diselesaikan pun tidak pernah tuntas karena isunya selalu dialihkan dan bahkan ditambah. Misalnya, unjuk rasa yang sering dilakukan oleh mahasiswa akhir-akhir ini sering menjurus ke tindakan kekerasan dan anarkisme. Ini sungguh memalukan. Meski bagaimanapun unjuk rasa atau demonstrasi itu hanyalah salah satu metode untuk mengungkapkan perasaan atas kebijakan yang menindas, aspirasi-aspirasi rakyat dan mengevaluasi kepemimpinan yang sedang berkuasa.
Ke depan bisakah permasalahan-permasalahan diselesaikan secara damai, dari hati ke hati antara mahasiswa dan penguasa?
Mahasiswa adalah generasi penerus harapan bangsa, yang sangat dibutuhkan dan didambakan visi kerakyatan kepemimpinannya. Jika sebelum menjadi pemimpin saja sudah demikian, bagaimanakah nasib bangsa dan negara ini di masa depan saat mereka memimpin?
Seharusnya politik mahasiswa sepenuhnya independen dan terbebas dari obsesi-obsesi pragmatis dari pihak-pihak tertentu yang di luar kendalinya dan menjauhkan misi gerakan politiknya dari tindakan kekerasan dan anarkisme. Sebab, peran mereka sebagai agent of change sangat dibutuhkan dan didambakan rakyat untuk mewujudkan perubahan sosial ke arah yang lebih baik di saat situasi dan kondisi objektif rakyat yang semakin kritis.
Perjuangan mahasiswa wajib dilandaskan atas kebenaran objektif. Salah satu syarat awal bangkitnya Indonesia dari keterpurukan (baca: krisis multidimensional) ialah bebasnya para pemimpin bangsa dari hegemoni pihak luar (kapitalisme). Dengan demikian, kebijakan-kebijakan penguasa senantiasa sepenuhnya untuk rakyatnya. Untuk itu, sebagai calon pemimpin masa depan, di tahun politik 2009 dan seterusnya, mahasiswa harus berani menolak ide-ide yang mengintervensi gerakan yang mereka bawa. (*)
Tinggalkan komentar